Perbedaan Prosesor ARM vs x86: Mana yang Lebih Hemat Baterai?
dites-vert.com – Pernahkah Anda mengalami situasi klise ini: Anda sedang asyik bekerja di kedai kopi yang aesthetic, tiba-tiba notifikasi “Battery Low” muncul di layar laptop? Seketika itu juga, kepanikan melanda. Mata Anda mulai liar memindai setiap sudut ruangan. Anda bukan sedang mencari inspirasi, melainkan mencari colokan listrik. Sayangnya, pengunjung lain sering kali sudah menguasai colokan tersebut. Sementara itu, teman di sebelah Anda yang menggunakan tablet atau laptop keluaran terbaru tampak santai saja, padahal ia tidak membawa charger sama sekali sejak pagi.
Apa yang membedakan nasib Anda dan teman Anda? Kemungkinan besar, jawabannya bukan pada ukuran baterai, melainkan pada otak yang menenagai perangkat tersebut. Selama berpuluh-puluh tahun, dunia komputasi terbelah menjadi dua kubu besar: x86 yang identik dengan performa “brutal” namun boros, dan ARM yang orang kenal sebagai prosesor hemat daya namun dulu banyak pihak menganggapnya “lemah”.
Namun, peta kekuatan itu kini berubah drastis. Batas antara laptop dan ponsel semakin kabur. Pertanyaannya sekarang bukan lagi soal siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang bisa bertahan hidup lebih lama tanpa tercolok ke dinding. Mari kita bedah “jeroan” teknologi ini untuk memahami alasan arsitektur prosesor sangat menentukan seberapa sering Anda harus membawa adaptor berat ke mana-mana.
1. Filosofi Desain: Si Otot Besar vs Si Efisien
Untuk memahami alasan satu prosesor bisa lebih irit baterai daripada yang lain, kita harus melihat DNA mereka. Bayangkan arsitektur x86 (Intel dan AMD memelopori teknologi ini) sebagai seorang binaragawan atau atlet angkat berat. Filosofi desain mereka adalah Complex Instruction Set Computing (CISC). Artinya, insinyur merancang prosesor ini untuk menyelesaikan tugas-tugas rumit dan berat dalam satu kali angkatan instruksi. Sangat kuat, sangat cepat, tapi butuh asupan kalori (listrik) yang masif.
Di sisi lain ring tinju, kita punya ARM (chip Apple M-Series, Qualcomm Snapdragon, dan MediaTek menggunakan teknologi ini). ARM menganut filosofi Reduced Instruction Set Computing (RISC). Bayangkan ARM sebagai pelari maraton atau tim estafet. Alih-alih mengangkat beban berat sekaligus, mereka memecah instruksi menjadi bagian-bagian kecil yang sangat sederhana. Kemudian, mereka menyelesaikan instruksi tersebut dengan sangat cepat dan efisien.
Insight: Inilah alasan mendasar mengapa prosesor hemat daya selalu identik dengan ARM. Karena instruksinya lebih sederhana, jumlah transistor yang aktif untuk menyelesaikan satu tugas lebih sedikit jika kita bandingkan dengan x86. Akibatnya, panas yang dihasilkan lebih rendah dan baterai lebih awet.
2. Rahasia big.LITTLE: Manajemen Kerja Cerdas
Salah satu inovasi terbesar yang menjadikan ARM sebagai raja efisiensi adalah konsep arsitektur big.LITTLE. Kedengarannya lucu, tapi dampaknya serius. Sejak lama, chip ARM di smartphone Anda tidak memiliki semua inti (core) yang sama kuatnya. Sebaliknya, mereka membagi tugas.
Misalnya, sebuah chip memiliki 8 inti. Mungkin 4 inti adalah “Performance Cores” (si kuat) dan 4 inti lainnya adalah “Efficiency Cores” (si hemat). Ketika Anda hanya membalas WhatsApp atau scrolling media sosial, sistem hanya akan menyalakan inti efisiensi yang memakan daya sangat kecil. Sistem akan membiarkan inti performa yang boros energi tetap “tidur”.
Sebaliknya, arsitektur x86 tradisional dulunya menyalakan inti performa tinggi untuk segala hal, bahkan untuk tugas sepele seperti membuka Notepad. Ini ibarat menggunakan truk kontainer hanya untuk membeli satu galon air mineral—pemborosan bahan bakar yang luar biasa. Meski Intel kini mulai meniru strategi ini dengan Hybrid Architecture (P-Core dan E-Core) di generasi terbarunya, ARM sudah menyempurnakan seni memilah tugas ini selama lebih dari satu dekade.
3. Revolusi Apple Silicon: Pembuktian ARM di Kancah PC
Keputusan Apple menceraikan Intel dan membuat chip sendiri berbasis ARM (M1, M2, dst) untuk lini Mac mereka telah mengguncang dunia teknologi. Sebelumnya, banyak orang merasa skeptis: “Mana mungkin prosesor HP bisa dipakai mengedit video 4K di laptop?”
Kenyataannya menampar keras industri x86. Laptop dengan chip berbasis ARM tiba-tiba mampu bertahan 18 hingga 20 jam pemakaian normal. Padahal, laptop x86 mustahil mencapai angka itu kala itu tanpa mengorbankan performa secara drastis. Fenomena ini membuktikan bahwa prosesor hemat daya berbasis ARM tidak berarti lemah.
Fakta menariknya, chip berbasis ARM sering kali tidak membutuhkan kipas pendingin (fanless) seperti pada MacBook Air. Absennya kipas berarti tidak ada motor listrik tambahan yang menyedot baterai. Hal ini menambah panjang durasi pemakaian. Bandingkan dengan laptop gaming x86 yang kipasnya menderu seperti pesawat jet lepas landas hanya karena Anda membuka 20 tab Chrome.
4. Masalah Warisan (Legacy): Beban Sejarah x86
Mengapa Intel dan AMD tidak beralih saja ke RISC agar lebih hemat? Jawabannya tidak sesederhana itu. Arsitektur x86 memanggul beban sejarah kompatibilitas (backward compatibility) selama 40 tahun lebih.
Prosesor x86 modern masih harus bisa menjalankan perangkat lunak jadul yang pengembang buat puluhan tahun lalu. Untuk melakukan ini, ada bagian-bagian dalam silikon prosesor yang berfungsi menerjemahkan instruksi lama ini. Dekoder instruksi pada x86 sangat kompleks dan rakus energi.
Analogi: Bayangkan x86 sebagai seorang profesor jenius yang harus membawa ransel berisi buku-buku referensi dari tahun 1980-an ke mana pun ia pergi, “hanya untuk berjaga-jaga”. Tentu saja ia lebih cepat lelah (baterai habis) jika kita bandingkan dengan si anak muda (ARM) yang hanya membawa tablet tipis berisi data terkini. Selama x86 masih mengikatkan diri pada kompatibilitas penuh Windows versi lama, sulit bagi mereka untuk menjadi prosesor hemat daya sejati yang menyaingi efisiensi ARM.
5. Tantangan Windows on ARM: Efisiensi vs Kompatibilitas
Jika ARM begitu hebat, kenapa tidak semua laptop Windows beralih ke ARM sekarang juga? Di sinilah letak jebakannya. Hardware ARM memang irit, tapi pengembang membangun software Windows selama ini di atas pondasi x86.
Ketika Anda menjalankan aplikasi x86 (seperti Photoshop versi lama atau game Steam tertentu) di laptop berbasis ARM (misalnya yang menggunakan Snapdragon), sistem harus melakukan “emulasi” atau penerjemahan bahasa mesin secara real-time. Proses penerjemahan ini membutuhkan daya ekstra.
Jadi, meskipun prosesornya sendiri hemat daya, jika sistem memaksanya bekerja keras menerjemahkan bahasa asing (x86 ke ARM) terus-menerus, hal itu bisa menggerus keuntungan efisiensi baterainya. Meskipun Microsoft dan Qualcomm (lewat Snapdragon X Elite) terus mempersempit celah ini, kompatibilitas aplikasi masih menjadi deal-breaker bagi sebagian pengguna profesional yang bergantung pada software spesifik.
6. Masa Depan: Intel Lunar Lake dan Kebangkitan x86?
Apakah x86 akan punah? Tentu tidak. Intel dan AMD tidak tinggal diam melihat pesaing menggerogoti pasar mereka. Intel dengan arsitektur terbarunya (seperti Lunar Lake) mulai membuang banyak beban masa lalu dan mengadopsi memori terintegrasi (SoC) mirip cara kerja Apple Silicon.
Mereka mulai berhasil menciptakan prosesor hemat daya yang kompetitif. Laptop Windows x86 terbaru kini mulai bisa menyentuh angka 10-12 jam pemakaian nyata. Persaingan ini sangat sehat bagi konsumen. Kita tidak lagi harus memilih antara “performanya kencang tapi panas” atau “baterainya awet tapi lemot”. Gap efisiensi antara x86 dan ARM semakin menipis, meski saat ini ARM masih memegang mahkota efisiensi per watt.
Jika Anda bertanya, “Mana yang lebih hemat baterai?”, jawaban singkatnya saat ini adalah ARM. Arsitektur yang lebih sederhana, manajemen core yang matang, dan integrasi sistem yang efisien membuat perangkat berbasis ARM (seperti MacBook atau laptop Snapdragon terbaru) menjadi juara bertahan dalam hal ketahanan daya. Mereka adalah pilihan tepat bagi digital nomad, penulis, atau pelajar yang malas membawa charger.
Namun, x86 masih menjadi raja dalam hal kompatibilitas dan performa mentah untuk tugas-tugas heavy duty tanpa kompromi. Sebelum membeli, tanyakan pada diri Anda: Apakah Anda butuh laptop yang bisa menyala dua hari tanpa cas, atau laptop yang bisa menjalankan software akuntansi jadul kantor tanpa error? Pilihan ada di tangan Anda, dan untungnya, masa depan komputasi terlihat semakin cerah—dan semakin hemat energi.